PENDAHULUAN
Seperti kita ketahui bahasa dan masyarakat merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, tidak mungkin ada masyarakat tanpa bahasa dan tidak mungkin pula ada bahasa tanpa masyarakat. Namun seiring berjalannya waktu dalam suatu bahasa juga dapat terjadi pergeseran, hal ini terjadi karena dipengaruhi berbagai hal diantaranya perkembangan ilmu dan teknologi. Seperti kita ketahui pula bahwa fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat komunikasi sosial. Bahasa adalah suatu wahana untuk kita berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian setiap anggota masyarakat tentunya memiliki dan menggunakan alat komunikasi sosial tersebut. Tidak ada bahasa tanpa masyarakat dan tidak ada pula masyarakat tanpa bahasa.
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka bahasa pun mengalami perubahan yang sangat signifikan. Hal ini disebabkan karena bahasa memang tidak lepas dari masyarakat. Dua hal ini saling berkaitan, begitu pula dengan bahasa indonesia yang diangkat dari bahasa Melayu yang bersifat lingua franca sebagai bahasa penghubung yang tersebar di Nusantara hingga saat dirumuskannya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu yang menjadi bahasa negara, sejak itupun perkembangan bahasa Indonesia terus berkembang, beribu-ribu istilah dan kata-kata baru bermunculan, dari segi struktur kita tingkatkan swadayanya sehingga kita dapat rumuskan segala pemikitan yang tinggi dan rumit dalam bahasa Indonesia, sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa yang canggih yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya yang juga berkembang dan modern. Dengan mengetahui latar belakang tersebut, maka akan dibahasa selanjutnya mengenai Bahasa dan tutur, Verbal repertoire, Masyarakat tutur, dan Bahasa dan tingkatannya
BAHASA DAN TUTUR
Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa (1916) dalam buku Abdul Chaer (2010) membedakan antara yang disebut langage, language, dan parole. Ketiga istilah yang berasal dari bahasa perancis itu, dalam bahasa indonesia dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Istilah langage digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal dengan sesamanya, atau langage juga disebut bahasa secara umum. Contoh “ Manusia mempunyai bahasa, binatang tidak “. Jadi, penggunaan istilah bahasa dalam kalimat tersebut, sebagai padanan kata langage, tidak mengacu pada salah satu bahasa tertentu melainkan mengacu pada bahasa umumnya, sebagai alat komunikasi manusia, binatang juga melakukan komunikasi, tetapi bukan menggunakan bahasa.
Istilah kedua yaitu langue merupakan sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi, atau langue juga disebut bahasa secara khusus atau bahasa tertentu. Contoh “ Nina belajar bahasa jepang, sedangkan Dika belajar bahasa arab ”. sama dengan langage, langue juga bersifat abstrak.
Istilah ketiga parole, bersifat konkret, karena parole merupakan pelaksanaan dari langue, dalam bentuk ujaran atau tuturan, yang mempunyai ciri khas. Setiap orang secara konkret memiliki kekhasan sendiri sendiri dalam berbahasa (berbicara atau menulis). Kekhasan ini dapat mengenal volume suara, pilihan kata, penataan sintaksis, dan penggunaaan unsur unsur bahasa lainnya. Ciri khas bahasa seseorang disebut dengan istilah idiolek. Jadi, kalau ada 1000 orang maka akan ada 1000 idiolek. Setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek, dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek.
VERBAL REPERTOIR
Ferdinand de Saussure membedakan antara langue dan parole, antara bahasa sebagai suatu sistem yang sifatnya abstrak. Dan bahasa dalam penggunaannya secara nyata di dalam masyarakat yang bisa kita sebut tuturan (inggris: speech). Pakar lain chomsky, contoh tata bahasa generatif transformasi menyebutkan adanya kompetensi (inggris:competence) disamping performans. Yang dimaksud kompetensi yaitu kemampuan, yakni pengetahuan yang dimiliki pemakai bahasa mengenai bahasanya. Sedangkan performans adalah perbuatan berbahasa atau pemakaian bahasa itu sendiri dalam keadaan sebenarnya di dalam masyarakat. Komunikatif adalah kemampuan bertutur atau kemampuan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi serta norma norma penggunaan bahasa dengan konteks situasi dengan konteks sosialnya (Halliday 1972:269-293).
Jadi, untuk dapat disebut mempunyai kemampuan komunikatif seseorang haruslah mempunyai kemampuan untuk bisa membedakan kalimat yang gramatikal dan yang tidak gramatikal, serta mempunyai memilih bentuk bentuk bahasa yang sesuai dengan situasinya, serta tidak hanya dapat menginterpresentasikan makna referensial tetapi juga dapat menafsirkan makna konteks dan makna situasional.
Kemampuan komunikatif seseorang juga bervariasi, setidaknya menguasai satu bahasa ibu dengan berbagai variasi atau ragamnya; dan yang lain mungkin menguasai, selain bahasa ibu, juga sebuah bahasa lain atau lebih, yang diperoleh sebagai hasil pendidikan atau pergaulannya dengan penutur bahasa di luar lingkungannya.
Semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur ini biasa disebut dengan istilah repertoir bahasa atau verbal repertoir dari orang itu. Berdasarkan luas dan sempitnya verbal repertoir sebuah masyarakat tutur dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Verbal repertoire yang dimiliki setiap penutur secara individual, menunjukan keseluruhan alat-alat verbal yang dikuasai oleh setiap penutur, pemilihan bentuk dan norma-norma bahasa sesuai dengan fungsi dan situasinya.
2. Verbal repertoir yang menjadi milik masyarakat tutur secara keseluruhan, menunjukan keseluruhan alat-alat verbal yang ada dalam masyarakat tutur serta norma-norma untuk menentukan pilihan variasi sesuai dengan konteks sosialnya.
1. Verbal repertoire yang dimiliki setiap penutur secara individual, menunjukan keseluruhan alat-alat verbal yang dikuasai oleh setiap penutur, pemilihan bentuk dan norma-norma bahasa sesuai dengan fungsi dan situasinya.
2. Verbal repertoir yang menjadi milik masyarakat tutur secara keseluruhan, menunjukan keseluruhan alat-alat verbal yang ada dalam masyarakat tutur serta norma-norma untuk menentukan pilihan variasi sesuai dengan konteks sosialnya.
Kajian yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal di antara para penuturnya di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro. Sedangkan kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan adanya ciri ciri linguistik didalam masyarakat disebut sosiolinguistik korelasional atau sosiolinguistik makro (Appell 1976). Kedua jenis sosiolinguistik ini makro dan mikro mempunyai hubungan sangat erat, tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling bergantung. Maksudnya verbal repertoir setiap penutur ditentukan oleh masyarakat dimana ia berada sedangkan verbal repertoir suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan verbal repertoir semua penutur di dalam masyarakat itu.
MASYARAKAT TUTUR
Kalau suatu kelompok atau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma norma pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan kelompok orang itu atau masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur (inggris:speech community). Jadi, masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk bentuk bahasa. Untuk dapat disebut satu masyarakat tutur adalah adanya perasaan diantara penuturnya, bahwa mereka merasa menggunakan tutur yang sama (Djokokentjono, 1982).
Fishman (1976:28) menyebut “ masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaanya ”. Kata masyarakat dalam istilah masyarakat tutur bersifat relatif, dapat menyangkut masyarakat yang luas, dan dapat pula hanya menyangkut sekelompok kecil orang.
Bahasa mengenal masyarakat tutur sebenarnya sangat beragam, yang barang kali antara satu dengan yang lain agak sukar untuk di pertemukan. Bloomfield (1933:29) membatasi dengan “ sekelompok orang yang menggunakan sistem isyarat yang sama “. Batasan Bloomfield ini dianggap terlalu sempit oleh para ahli sosiolinguistik sebab, terutama dalam masyarakat modern banyak orang yang menguasai lebih dari satu ragam bahasa.
Dan didalam masyarakat itu sendiri terdapat lebih dari satu bahasa. Batasan yang diberikan oleh Labov (1972:158) yang mengatakan “ satu kelompok orang yang mempunyai norma yang sama mengenai bahasa “. Pandangan ini dianggap terlalu luas dan terbuka.
Masyarakat tutur yang besar dan beragam memperoleh verbal repertoirnya dari pengalaman atau dari adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Mungkin juga di peroleh secara referensial. Yang diperkuat dengan adanya integrasi simbolik, seperti integrasi dalam sebuah wadah yang disebut negara, bangsa, atau daerah. Jadi, mungkin saja suatu wadah negara, bangsa, atau daerah membentuk suatu masyarakat tutur dalam pengertian simbolik itu. Dalam hal ini tentu saja yang disebut bahasa nasional dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungan dengan variasi kebahasaan.
Dilihat dari sempit dan luas verbal repertoirnya dapat dibedakan adanya dua macam masyarakat tutur yaitu (1) masyarakat tutur yang repertoir pemakaiannya lebih luas, dan menunjukkan verbal repertoir setiap penutur lebih luas pula, dan (2) masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari hari dan aspirasi hidup yang sama dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistik yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya. Kedua jenis masyarakat tutur ini terdapat baik dalam masyarakat yang termasuk kecil dan tradisional maupun masyarakat besar dan modern. Hanya, seperti dikatakan Fishman(1976:33) dan juga Gumperz (1973:37-53). Masyarakat modern mempunyai kecenderungan memiliki masyarakat tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan berbagai variasi dalam bahasa yang sama. Sedangkam masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dalam beberapa bahasa yang berlainan. Penyebab kecenderungan itu adalah berbagai faktor sosial dan faktor kurtural.
Sedangkan Berdasarkan verbal repertoir yang dimiliki oleh masyarakat, masyarakat bahasa dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Masyarakat monolingual (satu bahasa)
Masyarakat monolingual artinya suatu masyarakat bahasa yang hanya dapat berkomunikasi dengan satu bahasa. Masyarakat monolingual ini sudah mulai jarang ditemukan pada zaman sekarang. Masyarakat monolingual biasanya terdapat di daerah terisolasi.
b. Masyarakat bilingual (dua bahasa)
Masyarakat bilingual lebih maju jika dibandingkan dengan masyarakat monolingual. Hal ini karena masyarakat bilingual telah dapat berkomunikasi dengan dua bahasa. Artinya , masyarakat bilingual lebih bersifat komunikatif dibandingkan masyarakat monolingual.
c. Masyarakat multilingual (lebih dari 2 bahasa).
Kelompok masyarakat bahasa multilingual memiliki kemampuan menggunakan lebih dari dua bahasa.
BAHASA DAN TINGKATANAN SOSIAL MASYARAKAT
Pokok pembicaran sosiolinguistik adalah hubungan antara bahasa dengan penggunaanya didalam masyarakat yaitu hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi bahasa, ragam, atau dialek dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu dimasyarakat. Misalnya, untuk kegiatan pendidikan digunakan bahasa baku, untuk kegiatan sehari-hari menggunakan ragam bahasa tak baku, untuk berbisnis ragam usaha, untuk mencipta karya seni digunakan ragam sastra dan lainnya.Tingkatan sosial di dalam masyarakat itu bisa dilihat dari dua segi yaitu :
1. Dari segi kebangsawanan
2. Dari segi kedudukan sosial yang ditandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki
Untuk melihat adanya hubungan antara kebangsawanan dengan bahasa, kita ambil contoh masyarakat tutur bahasa jawa, mengenai tingkat kebangsawanan ini, Kuntjaraningrat ( 1967:245) membagi masyarakat jawa ada 4 tingkat yaitu :
a. Wong cilik
b. Wong sudagar
c. Priyayi
d. Ndara
Sedangkan menurut Clifford beerts (dalam Pride dan Holmes, 1976), membagi masyarakat jawa menjadi 3 tingkat yaitu :
a. Priyayi
b. Bukan priyayi tetapi berpendidikan dan bertempat tinggal dikota
c. Petani dan orang-orang kota yang tidak berpendidikan
Dari kedua penggolongan tersebut, jelas adanya perbedaan tingkat dalam masyarakat tutur bahasa Jawa. Berdasarkan tingkatan itu, maka dalam masyarakat Jawa terdapat berbagai variasi bahasa yang digunakan sesuai dengan tingkat sosialnya yang lazim disebut sosiolek (Nababan, 1984).
Perbedaan variasi bahasa dapat juga terjadi apabila yang terlibat dalam pertuturan mempunyai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya jika wong cilik berbicara dengan priyayi atau ndara maka masing-masing menggunakan variasi bahasa Jawa yang berlainan. Pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu krama dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah yaitu ngoko. Variasi bahasa yang penggunaannya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial ini dikenal dalam bahasa Jawa dengan istilah undak usuk.
Sehubungan dengan undak usuk ini bahasa Jawa terbagi dua, yaitu krama untuk tingkat tinggi dan ngoko untuk tingkat rendah. Namun, diantara keduanya masih terdapat adanya tingkat-tingkat antara. Uhlenbeck (1970), seorang pakar bahasa Jawa, membagi tingkat variasi bahasa Jawa menjadi tiga yaitu krama, madya dan ngoko lalu diperinci lagi menjadi muda krama, kramantara dan wreda krama madyangoko, madyantara dan madya krama; ngoko sopan dan ngoko andhap. Sedangkan Clifford Geertz (1976) membagi menjadi dua bagian pokok yaitu krama dan ngoko. Lalu krama diperinci lagi menjadi krama inggil, krama biasa dan krama madya sedangkan ngoko deperinci menjadi ngoko madya, ngoko biasa dan ngoko sae.
Dalam masyarakat kota besar yang heterogen dan multietnis, tingkat status sosial berdasarkan derajat kebangsawanannya mungkin sudah tidak ada ataupun walaupun masih ada sudah tidak dominan lagi. Sebagai gantinya adalah lapisan tingkatan dilihat dari status sosial ekonomi.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa ada korelasi antara tingkat sosial didalam masyarakat dengan ragam bahasa yang digunakan sejalan dengan kesimpulan adanya hubungan antar kode bahasa dengan kelas sosial sosial penuturnya.
REFERENSI
Appel, Rene. 1976. Sosiolinguistiek. Utrech-Antwerpen: Het Spectrum
Bloomfield, Leonard. 1933. Language. New York: Holt, Rinehart and Winston
Chomsky, N. 1965. Aspects of the Theory of a Syntax. Cambridge-Mass: The MIT Press
Djoko Kencono. 1978. “Beberapa Masalah Lafal Standar” Pengajaran Bahasa dan Sastra. Th. V, No. 5:16-23
Fishman, J.A. 1968. Reading in the Sociology of Language. Den Haag-Paris: Mouton
Gumperz, J.J. 1970. The Speech Community. New York: Holt, Rinehart
Halliday, M.A.K. 1986. The Users and Uses of Language dalam Fishman (Ed) 1968.
Labov, William. 1966. The Social Startification of English in New York City. Washington D.C: Center for Applied Linguistics
Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik. Jakarta: Gramedia